Selamat Sore Guyss!! lama enggak berjumpa nihh
hari ini kita bahas tentang Kasus-kasus tentang psikologi yukk,dimana kasus-kasus tersebut adalah yang paling legend hahha yukkk cek it dott
Kasus-kasus psikologi paling terkenal sepanjang masa.
Psikologi telah memulai debut sejak 1879, ketika Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium khusus kejiwaan. And boy, how the time flies. Psikologi melalui jalan yang panjang dan berliku, tetapi satu hal yang pasti: ia memberikan manfaat bagi umat manusia.
Layaknya cabang ilmu lain, psikologi juga menemui masalah dan kasus yang butuh waktu panjang untuk diuraikan.
Berikut ini 10 studi kasus paling terkenal yang ditemui oleh psikolog dan ilmuwan psikologi.
Berikut ini 10 studi kasus paling terkenal yang ditemui oleh psikolog dan ilmuwan psikologi.
1. Kasus Phineas Gage
Phineas Gage adalah seorang pekerja rel di Central Vermont, Amerika Serikat. Salah satu tugasnya adalah meledakkan bukit-bukit untuk membuat rel. Suatu hari, karena kerja sambil ngelamun, Phineas menjadi korban ledakan. Sebatang besi meluncur ke keningnya, menembus otak, dan menancap di situ.
Ajaibnya, Phineas
selamat. Namun, teman-teman dan keluarganya menganggap Phineas sebagai
orang yang berbeda. Dalam laporannya, Dr. John Harlow (1868) menulis
bahwa, “Phineas kini menjadi tidak menghargai rekan kerjanya, tidak
sabaran, berkelahi tanpa sebab, sering gelisah, keras kepala, impulsif,
dan kekanak-kanakan”.
Nggak ada otopsi
ketika Phineas meninggal. Pada 1867, kuburannya digali, dan tengkoraknya
diberikan pada Harlow untuk diteliti. Namun, otaknya sudah nggak ada.
Tengkorak
yang berlubang, serpihan tulang, dan infeksi diyakini merusak jaringan
otak Phineas. Pada 2004, Tatiu dkk menggunakan CT-scan untuk menciptakan
bayangan tiga dimensi untuk simulasi otak Phineas, dan dari penelitian
mereka ditemukan bahwa yang tertembus besi adalah otak sebelah kiri.
Kasus Gage yang terjadi 170 tahun lalu ini menjadi pelopor penelitian mengenai pengaruh kerusakan otak terhadap kepribadian.
2. Kasus H.M.
Henry
Gustav Molaison alias H.M. mengalami tabrakan sepeda dan kepalanya
terhantam keras, ketika berusia tujuh tahun. Sejak itu, ia sering
mengalami kejang-kejang dan pingsan. Pada usia 16 tahun, ia mengalami
kejang grand mal pertamanya, jenis kejang yang melumpuhkan otak secara keseluruhan. H.M. mengalami hal ini hingga sepuluh kali sehari.
Penat
dengan semua ini, H.M. memohon pada seorang dokter untuk bereksperimen
dengan otaknya. Pada masa itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebab
kejang-kejang terdapat di sebuah area di hipokampus. Dokter kemudian
melubangi tengkorak H.M., menyedot hipokampus dan sebagian jaringan di
sekitarnya.
Kejang-kejangnya berhenti,
namun muncul masalah baru. H.M. bisa mengingat namanya dan sejumlah
peristiwa penting di masa lalu, tapi kesulitan mengingat hal-hal baru.
Bahkan dia nggak bisa mengingat informasi baru selama 20 detik. Setiap
acara tv, lagu yang ia dengar, orang yang ia temui, adalah sesuatu yang
baru. Hipokampus H.M. telah hilang di kedua belah otaknya, membuat dia
nggak mampu menyimpan informasi baru jangka panjang.
Sejak
itu H.M. menjadi semacam “selebriti” di dunia penelitian neurosains. Ia
menjadi subyek penelitian lebih dari 100 psikolog dan ilmuwan, dan
disebutkan di lebih dari 12000 jurnal. Pada masanya, kasus H.M. menjadi
terkenal karena ilmuwan meyakini memori disimpan di korteks serebral.
H.M. mungkin sudah meninggal, namun peninggalannya abadi: otaknya disimpan dan direkam secara 3D. Kisahnya juga dibukukan di Permanent Present Tense, The Man With No Memory and What He Taught The World.
3. Kasus Victor Leborgne
Saat berusia 30 tahun, secara mendadak Louis Victor Leborgne kehilangan kemampuan berbicara. Benar-benar hilang, hanya bisa berkata: tan. Keluarganya menduga hal ini hanya sementara. Setelah tiga bulan nggak ada perubahan, Leborgne dibawa ke rumah sakit.Selain kehilangan kemampuan bicara, nyatanya Leborgne nggak punya trauma fisik atau mental yang mencolok. Dia sehat, normal, dan responsif. Dia berusaha menjawab pertanyaan dengan respon terbaik yang ia bisa. Walaupun tan adalah satu-satunya kata yang bisa keluar dari mulutnya, ia nggak pernah menyerah.
Sepuluh tahun setelahnya, Leborgne menunjukkan tanda-tanda stres. Lengan kanannya lumpuh diikuti kaki kanannya. Penglihatannya memburam juga. Ia sampai pada titik jenuh dan nggak mau bangkit dari ranjang selama tujuh tahun.
Pada 1861, Leborgne dirujuk ke seorang dokter bernama Paul Broca. Broca melakukan serangkaian pengujian pada Leborgne. Dalam catatannya, Broca menulis:
Pasien sudah tidak sanggup berbicara kecuali dalam satu suku kata, yang biasanya ia ulangi dua kali; terlepas dari apapun yang ditanya padanya, ia akan menjawab: tan, tan, dengan gerak tubuh yang bervariasi. Inilah kenapa, di rumah sakit, ia dikenal dengan nama Tan.
17
April, Louis Victor Leborgne meninggal dalam usia 51 tahun. Pembedahan
otaknya segera dilakukan, dan ditemukanlah luka di lobus frontalis
sebelah kiri Leborgne, sekumpulan jaringan yang kini disebut Broca’s
Area. Mengingat Leborgne nggak bisa bicara namun bisa memahami
kata-kata, Broca menyimpulkan bahwa area inilah yang memampukan kita
bicara. Broca kemudian membagikan temuan ini pada koleganya.
Kini
Leborgne dikenang dengan julukan Pasien Tan, salah satu pasien paling
terkenal sepanjang sejarah. Kita mengingat otaknya sebagai cikal bakal
Broca’s Area, sebuah area yang paling banyak dipelajari di ranah
psikologi kognitif.4. Bocah Liar dari Aveyron
Julukan
“Bocah liar dari Aveyron” – diberikan pada anak bernama Victor oleh
Jean-Marc Itard. Itard menemukan Victor di hutan Aveyron, di Prancis.
Saat itu Victor berusia 11-12 tahun, hidup di alam liar selama
bertahun-tahun.
Bagi peneliti saat itu,
Victor bisa menjadi “sasaran” penelitian mengenai bagaimana manusia bisa
hidup bila tidak ada campur tangan manusia lain.
Sebagian
orang saat itu berharap Victor muncul sebagai insan yang suci dan
mulia, namun mereka kemudian kecewa. Victor muncul dalam keadaan dekil,
bau, dan buang air di tempat ia berdiri.
Victor
kemudian dibawa ke Paris. Itard, sebagai penemu Victor, merasa
bertanggung jawab mengajarinya hidup bersama manusia. Misi ini cukup
sukses. Victor bisa berpakaian, memahami etika buang air di toilet, dan
bisa memahami kalimat sederhana. Meski begitu, Victor nggak pernah bisa
berbicara dengan lancar.
Pakar
autisme Uta Frith menduga Victor bisa jadi dibuang di hutan karena
memiliki autistik, tapi itu cuma dugaan. Kisah masa lalu Victor nggak
pernah diketahui.
5. Kasus Kim Peek
Pernah nonton film Rain Man? Film ini bercerita tentang seorang dengan autisme, namun punya bakat super soal daya ingat dan hitung menghitung. Sebelum film ini dirilis, belum banyak orang yang memahami autisme. Bisa dibilang Film ini meningkatkan kesadaran orang-orang mengenai autistik.Ada tokoh nyata di balik film ini. Namanya adalah Kim Peek, atau oleh teman-temannya dijuluki “Kim-puter“.
Kim sendiri nggak memiliki autisme, tapi ia terlahir dengan otak yang nggak biasa. Cerebellum di otaknya nggak sempurna, dan nggak punya corpus callosum. Hal ini menyulitkan dia dalam koordinasi fisik. Dia jadi nggak bisa memakai baju atau menyikat gigi sendiri. Dia nggak paham kalimat yang bermakna ganda, sindiran, peribahasa, dan sarkasme. Kim juga sulit melakukan proses berpikir konseptual dan yang butuh nalar.
Namun Kim Peek punya kemampuan eksplosif terkait memori otaknya.
Dia bisa membaca dua halaman buku dalam satu waktu – satu mata untuk satu halaman – dan telah membantai 12000 buku sepanjang hidupnya. Nggak cuma baca, dia juga hapal apapun yang sudah ia lahap.
Orang-orang jenius punya keterbatasan. Mereka bisa ingat pada cabang ilmu spesifik, tapi tidak dengan Kim Peek. Ia punya pemahaman luar biasa pada berbagai cabang ilmu, dan bisa menjawab secara kilat pertanyaan apapun mengenai sejarah, olahraga, musik, geografi, dan perfilman.
Dia juga hafal semua kode area dan kode pos di Amerika. Dia bisa mempelajari peta sebentar, menutupnya, dan langsung bisa mengarahkan petunjuk jalan pada orang yang bertanya padanya. Dia bisa mengidentifikasi ratusan komposisi lagu klasik, menyebutkan siapa komposernya dan kapan lagu itu pertama kali ditampilkan.
Kim Peek meninggal pada 2009 karena serangan jantung.
6. Kasus Anna O
Anna O adalah nama samaran untuk Bertha Pappenheim, seorang feminis dan pekerja sosial dari Jerman.
Sebagai Anna O, ia adalah salah satu pasien pertama sepanjang sejarah yang diterapi dengan psikoanalisa.
Sebagai Anna O, ia adalah salah satu pasien pertama sepanjang sejarah yang diterapi dengan psikoanalisa.
Anna
O saat itu mengalami halusinasi, mood yang labil, lumpuh di bagian
tubuh sebelah kanan, dan berbicara yang sulit dipahami. Karena fisiknya
sehat-sehat saja, dokter lalu menyarankan Anna O bertemu dengan Joseph
Breuer, seorang psikoanalis.
Kemudian
Breuer datang ke rumahnya. Breuer saat itu meminta Anna untuk berbaring
di kasur dan menceritakan tentang pikiran dan perasaannya (si Breuer
duduk di kursi lo ya, nggak ikut tiduran di kasur). Proses terapi ini
kemudian dipindah ke Klinik Bellevue, dan terus berlangsung selama 18
bulan.
Selama terapi ini berlangsung,
gejala yang dialami Anna berangsur membaik. Ini bisa dibilang salah satu
bukti awal kemanjuran terapi psikoanalisa.
Dalam buku “Five Lectures of Psychoanalysis”,
Freud menulis bahwa semua ini disebabkan karena ayahnya Anna meninggal
pada April 1881. Anna nggak terima dengan kenyataan tersebut, hingga dia
tertekan dan nggak makan berhari-hari. Baik Freud dan Breuer sepakat
bahwa Anna O mengalami histeria.
Kasus Anna O termaktub dalam Studien über Hysterie (1895),
sebuah buku studi mengenai histeria yang ditulis oleh Breuer dan Freud.
Anna ditampilkan dalam kasus pertama di buku tersebut.
Anna
mengakui bahwa membicarakan permasalahannya, justru membantu melepas
beban yang mengganggunya selama ini. Pengakuan ini kemudian dicatat
sebagai dasar teori katarsis. Malah, Freud menyebut Anna O sebagai
“pendiri psikoanalisa yang sebenarnya”.
7. Kasus Kitty Genovese
Terkenalnya Kitty Genovese terjadi karena nasib malang yang menimpanya.
Pada
satu malam di New York, 1964, Genovese dalam perjalanan pulang dari
pekerjaannya sebagai pelayan bar. Hampir tiba di apartemen, ia diserang
dan dibunuh. Pembunuhan ini memberi dampak pada ilmu psikologi, karena
menginspirasi penelitian yang terkenal dengan “Fenomena Saksi” (Bystander Phenomenon).
Fenomena
saksi terjadi ketika semua orang kehilangan rasa tanggung jawab, akibat
keberadaan orang lain di sekitarnya. Fenomena ini pernah kami jelaskan di sini.
Menurut
cerita, setidaknya 38 orang menyaksikan kematian Genovese. Namun nggak
ada satupun saksi yang mau menolong. Gila! Inilah bukti mengerikan bystander effect.
Masih
banyak kebingungan soal cerita kematian Genovese yang sebenarnya. Dalam
persidangan, Jaksa mengatakan,”kamu hanya menemukan setengah lusin
saksi yang melihat apa yang terjadi”.
Salah satu saksi mengatakan
bahwa Genovese dan si pembunuh “hanya berdiri berdekatan, tidak
berkelahi atau apapun”. Malah, nggak ada satu saksipun yang benar-benar
melihat proses pembunuhan.Cerita kematian Genovese memang membingungkan, namun fenomena yang diteliti setelahnya memberikan pencerahan dan kemajuan bagi ilmu psikologi.
8. Kasus Albert Kecil
Si
Kecil Albert adalah nama panggilan yang diberikan oleh John Watson pada
seorang bayi 11 bulan. Albert kecil ini tidak sadar, bahwa kelak
kisahnya abadi di buku-buku psikologi.
Watson
bersama istrinya, Rosalind Rayner, bermaksud menanamkan rasa takut yang
khusus pada Albert melalui proses modifikasi perilaku. Penelitian ini
berlangsung pada 1920 dan sekarang sudah dilarang (baca di 10 Penelitian Terlarang di Psikologi).
Ketertarikan
para ilmuwan psikologi pada Albert, membuat identitas aslinya sejenak
terlupakan. Sekelompok ilmuwan dari Universitas Appalachian mengumumkan
bahwa Albert adalah Douglas Merritte, anak perawat di Universitas John
Hopkins. Menurut kelompok ini, Albert kecil mengalami gangguan syaraf,
dan meninggal akibat hydrocephalus.
Penelitian
lain dari Universitas MacEwan berpendapat lain. Menurut penelitian ini,
Little Albert sesungguhnya adalah William Albert Barger, anak dari
perawat yang lain. Penulis Richard Griggs lebih condong terhadap
pendapat ini. Sehingga, mungkin saja Little Albert tetap hidup hingga
2007 pada usia 87 tahun.
9. Kasus Chris Sizemore
Chris
Costner Sizemore adalah salah satu pasien kepribadian ganda paling
terkenal. Kepribadian Sizemore ada 16, di antaranya bernama Eve Black,
Ece White, Jane, dll. Oleh peneliti, Sizemore menciptakan
kepribadian-kepribadian ini sebagai mekanisme pelarian dari trauma masa
kecilnya. Termasuk di antaranya adalah melihat ibunya terluka parah dan
melihat seseorang dibelah dua di tempat penebangan kayu.
Sizemore
menyebut bahwa pribadi-pribadi tersebut sekarang telah bergabung
menjadi satu pribadi utuh. Namun, terkadang ia masih melihat beberapa
hal di masa lalunya sebagai tanggung jawab kepribadiannya yang lain.
Misalnya, dia menyebut bahwa suaminya menikah dengan Eve White (bukan
dia), dan Eve White-lah, bukan Chris Sizemore, yang merupakan ibu dari
anak pertamanya.
Kisahnya dijadikan film berjudul Three Faces Eve pada tahun 1957. Sizemore pun sempat menceritakan kisahnya pada autobiografi berjudul I’m Eve.
10. Kasus David Reimer
Hei
para cewek, bayangkan orangtuamu mendadak masuk kamar. Dengan
berkaca-kaca, mereka mengatakan bahwa kamu sebenarnya laki-laki, cuma
waktu bayi kelaminmu dipotong.
Apa perasaanmu?
Hal
ini dialami David Reimer, yang kehilangan “jagoan”nya akibat sunat saat
berumur 8 bulan. Oleh psikolog bernama John Money, orangtuanya
disarankan untuk membesarkan Reimer sebagai perempuan bernama Brenda.
Lebih jauh, Reimer diharuskan operasi dan suntik hormon supaya bisa
ganti gender.
Si
Money menyebut percobaan ini sebagai sukses besar. Ia menyebut bahwa
identitas gender sejatinya terjadi karena perlakuan lingkungan, bukan
faktor dari dalam tubuh. Padahal, sikap kelaki-lakian Reimer nggak
pernah benar-benar hilang.
Pada usia 14,
Reimer diberitahu semua rahasia masa lalunya. Ia lalu menjalani proses
pengembalian gender agar bisa kembali jadi pria.
Reimer kemudian membangun gerakan menentang perpindahan gender tanpa sekeinginan anak tersebut. Kisahnya ditulis dalam As Nature Made Him, The Boy Who Was Raised As A Girl oleh John Colapinto. Yang menyedihkan, Reimer mengakhiri hidupnya pada 2004, saat berusia 38 tahun.
SUMBER : https://psikologihore.com/10-kasus-psikologi-paling-terkenal/
SUMBER : https://psikologihore.com/10-kasus-psikologi-paling-terkenal/
0 komentar:
Posting Komentar